twitter
rss

sejarah-suku-ambon

Suku Dunia ~ Suku bangsa Ambon mendiami Pulau Ambon, Hitu dan Saparua, Provinsi Maluku. Sebenarnya mereka berasal dari Pulau Seram seperti halnya dengan suku-suku bangsa lain yang lebih dulu mendiami pulau-pulau di Maluku Tengah.

Bahasa Suku Ambon

Bahasa Ambon sendiri merupakan perkembangan dari bahasa asli yang dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Ada juga yang menyebut bahasa Ambon sebagai bahasa Melayu Ambon atau Nusalaut. Pemakai bahasa ini sekarang berjumlah sekitar 100.000 jiwa, belum termasuk yang berada di Negeri Belanda. Melihat daerah pemakaiannya bahasa Ambon dibagi ke dalam dialek-dialek : Nusalaut, Saparua, Haruku, Hila, Asilulu, Hatu, Wakasihu, dan lain-lain. Sekarang bahasa Ambon menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat yang berbeda-beda suku bangsa di daerah Provinsi Maluku.

Mata Pencaharian Utama Suku Ambon

Pada dasarnya mata pencaharian utama orang Ambon adalah bercocok tanam di ladang dengan tanaman pokok padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, kelapa, kopi, cengkeh, tembakau dan buah-buahan. Sementara itu sagu masih dianggap sebagai makanan pokok. Bahan makanan itu dulu mudah didapat di hutan-hutan, karena tumbuh secara liar. Sekarang tanaman sagu sudah dibudidayakan dengan jalan menanamnya secara teratur seperti menanam pohon kelapa. Selain bertani masyarakat ini suka pula menangkap ikan di perairan sekitar pulau-pulau mereka yang memang kaya dengan hasil laut. Dalam hal pendidikan formal orang Ambon sudah sejak zaman Belanda banyak bersekolah dan memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri dan tentara.

Kekerabatan Dan Kekeluargaan Dalam Suku Ambon

Orang Ambon menghitung hubungan kekerabatan melalui garis keturunan pihak ayah (patrilineal), dan pola menetap setelah kawin adalah di lingkungan pihak ayah (patrilokal). Kesatuan kekerabatan yang terpenting adalah matarumah (keluarga batih) yaitu sebuah kesatuan keluarga  yang terdiri dari satu keluarga inti senior dan keluarga-keluarga inti junior dari garis keturunan laki-laki. Pada tingkat yang lebih luas lagi mereka mengenal bentuk kesatuan kekerabatan berupa keluarga luas terbatas yang disebut soa. Pada masa sekarang istilah soa ini sering mereka kacaukan dengan istilah fam (family, dari bahasa Belanda). Masyarakat Ambon menyebut desa-desa mereka negeri. Kesatuan hidup setempat ini dipimpin oleh seorang kepala Negeri yang lebih sering digelari bapa raja, kebetulan kedudukan ini memang dimiliki secara turun-temurun oleh matarumah dari soa yang paling senior dalam desa tersebut. Dalam kedudukannya seorang Bapa Raja dibantu oleh suatu lembaga adat yang disebut saniri negeri. Lembaga ini ada beberapa macam. Pertama Saniri raja putih yang terdiri atas raja dan para kepala soa saja. Kedua, saniri negeri lengkap yang terdiri atas raja dan para kepala soa dan para kepala adat. Ketiga, saniri negeri besar yang terdiri atas raja, para kepala soa, kepala adat dan kepala matarumah atau warga masyrakat yang sudah dewasa. Bapa Raja mempunyai tangan kanan yang disebut marinyo (pesuruh). Pada zaman dulu antara satu negeri dengan negeri lain ada yang tergabung ke dalam ikatan adat yang disebut pela, dimana mereka tidak boleh saling menyerang, malahan harus membantu jika salah satu diserang musuh. Masa sekarang ikatan adat pela ini diwujudkan dalam bentuk kerja sama sosial antar desa.


Agama Dan Kepercayaan Suku Ambon

Sekarang orang Ambon sudah memeluk agama Islam atau Kristen. Jumlah pemeluk agama Islam sedikit lebih banyak, dan mereka umumnya lebih terampil dalam bidang perdagangan dan ekonomi umumnya. Sedangkan orang Ambon pemeluk agama Kristen lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri, guru, dan tentara. Namun kehidupannya sehari-hari mereka masih menjalankan kegiatan adat tertentu dari kebudayaan lama, dan menjadi salah satu identitas kesukubangsaan yang menonjol, seperti mengadakan upacara Nae Baileu atau upacara Cuci Negeri yang merupakan warisan kepercayaan nenek moyang mereka. Dalam menangani masalah kematian dan pelaksanaan upacaranya mereka selesaikan lewat kesatuan sosial adat yang disebut mubabet.

Nae Baileu adalah sebuah upacara yang bersifat "cuci negeri" yang ditemukan pada msayarakat adat di negeri-negeri Ambon umumnya. Upacara ini berpusat di sebuah balai adat yang mereka sebut baileu. Pada zaman dulu balai adat ini digunakan untuk tempat musyawarah adat dan pelaksanaan upacara religi. Tujuan utama upacara Nae Baileu selain untuk menjauhkan unsur-unsur buruk dari negeri, meminta berkat dan perlindungan kepada roh kakek moyang, juga untuk memperkuat kembali ikatan sosial yang damai antara semua soa yang ada dalam negeri itu. Menurut terbentuknya sebuah komunitas negeri, negeri itu dibuka pertama kali oleh soa-soa yang digolongkan ke dalam kelompok soa hitam. Biasanya orang-orang dari kelompok soa hitam inilah yang dianggap berhak menjadi raja, sekaligus menjadi tuan tanah yang menentukan tanah mana saja yang boleh digarap oleh soa-soa yang datang kemudian. Menerima soa baru sebagai anggota pada masa dulu diperlukan, terutama untuk menambah kekuatan laskar dalam rangka peperangan antar negeri yang lazim terjadi pada waktu itu. Sekarang upacara Nae Baileu sudah banyak dipengaruhi oleh agama Islam atau Kristen, sesuai dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk sebuah negeri.

Pada zaman Belanda kota Ambon ramai dikunjungi oleh berbagai bangsa dan suku bangsa, sehingga muncullah beberapa istilah penunjuk kelompok pendatang, seperti Tuni, Moni, Mahu, dan Wahan. Tuni adalah istilah untuk menyebut suku-suku bangsa yang berasal dari pulau seram (nunusaku). Pulau seram sering pula disebut Nusa Ina, karena sebagian besar suku bangsa yang tersebar di kepulauan Maluku Tengah dianggap berasal dari pulai ini. Moni adalah istilah untuk menyebut suku-suku bangsa dari daerah sekitar Lautan Pasifik (Papuan dan Melanesian). Mahu dipakai untuk menyebut suku-suku bangsa yang berasal dari Indonesia bagian barat, seperti orang bugis, Makassar, Buton, Minangkabau, dan Jawa. Sementara itu Wahan adalah sebutan untuk menyebut suku-suku bangsa yang berasal dari pulau-pulau sekitar Ambon, seperti orang ternate, Banda, Buru.

0 komentar:

Posting Komentar